Pacarku
beda agama
oleh teman.....
Aku menurunkan
kalung salib yang tergantung dimobilku, kalung salib oleh-oleh dari
omku waktu ziarah ke tanah perjanjian. Kalung itu sudah menghiasi
mobilku sejak 3 tahun yang lalu, tepatnya sejak mobil Yaris ini aku
miliki. Tapi hari ini ketika aku mau menemui Bundanya Ilham, aku
ingin menyembunyikannya di laci mobilku. Aku tidak ingin kalung salib
itu menjadi sesuatu penghalang bagi pertemuan kami. Hati kecilku
berontak:” Dasar pengkhianat, kamu benar-benar seperti Petrus yang
menyangkal Yesus, saat Dia mau disalibkan.” Aku ingin membujuk hati
kecilku untuk tidak mengoceh, paling tidak sampai saat pertemuan sore
ini berlalu. Tapi hati kecilku tetap bandel dan terus-terusan bilang,
bahwa aku pengkhianat. Aku menyerah, perasaan bersalah menyelinap
pelan menyentuh sanubariku, membuatku menghela nafas dalam. :”
Untuk hari ini saja Tuhan, ampuni aku” Pintaku serius.
Aku mengeluarkan
selendang biru yang aku beli kemarin, persiapan kalau aku harus
menutup rambutku ketika bertemu dengan Bundanya Ilham.
“Hai Mariam…”
Ilham menyambutku ramah. Aku mengkerutkan keningku mendengar namaku
dipanggil. Namaku Maria…tanpa “m”, tapi sore ini Ilham
menambahkan “m” dibelakang namaku. Sekali lagi aku menghela nafas
panjang. “Seberat inikah memperjuangkan cinta diantara perbedaan? “
Keluhku dalam hati.
Bunda Ilham
menyambutku memperhatikanku dari atas sampai bawah. Sepertinya beliau
kurang suka melihat aku yang tidak menutup kepalaku.
Aku mengurai
senyumku, berharap dengan senyumanku suasana akan mencair, tapi
harapanku sia-sia terbang dibawa angin. Suasana tetap tampak tegang.
“Kapan kalian
menikah?” Pertanyaan yang membuatku reflek menelan makanan yang
baru mengetuk pintu kerongkonganku, aku jadi tersedak. “Kapan kami
menikah?” Pertanyaan yang aku dan Ilhampun sampai sekarang belum
mampu menjawabnya.
“Apa lagi yang
kalian tunggu?” Bunda Ilham melanjutkan tanpa menunggu jawabanku.
“Apa yang kami
tunggu?” Aku mengulang pertanyaan itu dalam hati. Kami menunggu
kata sepakat. Apakah kami akan menikah dengan salah satu dari kami
mengalah untuk pindah keyakinan, atau tetap dengan agama kami
masing-masing.
“Sebetulnya
pacaran itu tidak boleh.” Bunda Ilham melanjutkan lagi, beliau
bicara tanpa perlu menunggu jawabanku.
“Kalian
tahu ada yang disebut hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat
(berdua-duaan). Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara
dengan nonmahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh mahram
aslinya. Misalnya, seorang siswi SMU yang ingin berbicara dengan
temannya yang laki-laki harus ditemani oleh bapaknya atau kakaknya.
Dengan demikian, hubungan nonmahram yang melanggar aturan di atas
adalah haram. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.?
Renungkan nasehat Bunda ini, kalian mengerti kan maksud Bunda?”
Kata Bunda Ilham lagi. Aku terdiam. Ilham yang menjawab: “ Ya bunda
kami mengerti.”
“Dan
kamu Mariam, kamu mengerti maksud saya kan?” Tanpa di duga Bunda
Ilham bertanya langsung padaku yang membuat aku gelagapan.
“Ya
bu saya mengerti. “ Jawabku pelan. Sangat pelan, sampai aku sendiri
tak mampu menangkap suaraku dengan jelas.
Hari
ke 3 sejak pertemuan di rumah Ilham itu, dia menemuiku.
“Maria,.”
Ilham memanggilku tanpa menambah “m” lagi.
“Ya.”
“Bunda
terus mendesakku.”
“Aku
tahu, tapi kita berdua sama-sama tahu, bahwa kita sedang memutuskan
sesuatu yang sangat sulit.” Jawabku. Aku melihat Ilham yang diam
begitu saja. Aku sangat mengerti pasti Ilham juga menemui kebingungan
yang kadarnya sama tingginya denganku.
Belum
lagi bila kami harus bertemu mamaku, pasti kesulitan baru akan kami
temui, karena dengan mudah mama akan mengenali siapa seorang Ilham
dari namanya saja, tak mungkin bagiku mengubah nama Ilham, semudah
Ilham mengubah namaku. Dan aku akan bisa menebak apa yang akan
dikatakan mama, akupun bisa memprediksi seberapa dasyat mama akan
marah. Oleh karena itulah sampai hari ini, aku tak pernah berani
membawa Ilham bertemu mama.
“Tuhan
kenapa cintaku harus jatuh pada Ilham, kenapa Engkau tak mengatur
hatiku untuk mencintai pria lain?” Protesku pada Tuhan.
“Apa
Tuhan senang melihatku menghadapi kesulitan seperti ini?” Aku belum
berhenti protes padaNya.
“Maria…,”
Ilham memanggilku lagi, membuatku menghentikan protesku pada Tuhan.
“Ya.”
Jawabku pendek. Aku melihat Ilham mengeluarkan sesuatu dari tas
ranselnya.
“Kamu
tidak ingin seperti mereka?” Tanya Ilham dengan kelembutan yang
selalu membuatku jatuh cinta. Aku melihat majalah yang diserahkannya
padaku. Majalah itu berisi tentang artis-artis yang menjadi mualaf.
Sekali lagi aku menyapu wajah Ilham dengan tatapanku.
“Ilham,
boleh aku bicara, tapi aku mohon jangan tersinggung ya?” Kataku,
berusaha sepelan dan sehalus mungkin.
“Bicaralah.”
Kata Ilham dengan suara lembutnya, yang membuatku selalu merasa
nyaman mendengarnya.
“Banyak
juga artis-artis yang masuk Kristen, dan kalau kamu membaca cerita
mereka dari versi agama kami. Mereka itu mengatakan bahwa mereka
telah menemukan jalan terang ketika mengenal Yesus. Kesaksian mereka
sangat mengharukan bila kami baca, aku ulangi lagi ‘kami’ baca.
Bagaimana perjuangannya menghadapi tentangan dari lingkunganya, dari
keluarga dekatnya dan demi Yesus kristus, mereka rela meninggalkan
keluarganya, rela menderita. Bagi kami mereka yang baru memeluk agama
Kristen ini adalah orang-orang yang dahulu berjalan dalam kegelapan
dan sekarang menemukan terang. Jadi menurutku, apabila kita memasuki
agama baru dan meninggalkan agama lama kita, tentu bagi agama baru
kita kita telah menemukan jalan terang, tapi bagi agama yang kita
tinggalkan kita dianggap telah menuju kegelapan.”
Ilham
terdiam mendengar khotbahku yang tanpa persiapan, tapi sepertinya dia
setuju dengan kata-kataku barusan.
“Kita
akhiri pembicaraan kita ini sementara ya…? Sampai kita akan
menemukan titik temu dan mengambil keputusan terbaik.” Pintaku pada
Ilham. Pria lembut itu mengangguk. Dan kamipun berpisah.
Sambil
berjalan menuju mobil tiba-tiba pikiranku melayang….seandainya aku
jadi menikah dengan Ilham, bisa terjadi kemungkinan sepanjang
hidupnya Ilham akan selalu merasa bersedih, karena tak bisa membawaku
mengikuti kepercayaannya, mungkin dia akan berpikir, bagaimana aku
bisa masuk surga, sedangkan aku terus dalam kegelapan, dan
kesedihannya akan bertambah, karena aku juga tidak akan menutup
kepalaku seperti keinginannya.
Akupun
bisa jadi berlaku demikian juga sepanjang hidupku aku akan merasa
bersedih, karena tidak bisa membawa Ilham kedalam kepercayaanku dan
itu artinya binasa. Belum lagi bocah-bocah kecil yang akan ada
diantara kami, tentu akan menimbulkan masalah tersendiri bila
kepercayaan kami berbeda, tapi bPacarku
beda agamaila salah satu diantara kami harus
berpindah keyakinan, itupun rasanya sangat mustahil.
Aku
menjalanlan mobilku pelan, kalung salib sudah kembali tergantung di
tempatnya.
Bagiku
jalan keselamatan dan hidup ada pada Yesus, dan ternyata hatiku tak
mampu menukar kepercayaanku dengan yang lain. Walaupun untuk
menukarnya aku akan mendapat hadiah “cinta seorang Ilham.” Tapi
hati kecilku tak mampu kubohongi, aku meyakini kepercayaanku seteguh
Ilham meyakini kepercayaannnya. Dan kepercayaan memang tak mungkin
diperdebatkan, karena mustahil menemukan titik temu.
Aku
menarik nafasku, aku sudah bisa mengambil keputusan hari ini. Aku tak
mungkin meneruskan hubunganku dengan Ilham, karena kalau aku nekat
melakukannya berarti aku telah dengan sadar teken kontrak dengan apa
yang disebut masalah.